ninda with best
Minggu, 11 November 2012
Minggu, 05 Agustus 2012
Kamis, 26 Juli 2012
cintailah seseorang tersebut sebelum dia benar benar pergi meninggalkanmu
Semoga peristiwa di bawah ini
membuat kita belajar bersyukur untuk
apa yang kita miliki :
Aku membencinya, itulah yang selalu
kubisikkan dalam hatiku hampir
sepanjang kebersamaan kami.
Meskipun menikahinya, aku tak
pernah benar-benar menyerahkan
hatiku padanya. Menikah karena
paksaan orangtua, membuatku
membenci suamiku sendiri. Walaupun
menikah terpaksa, aku tak pernah
menunjukkan sikap benciku. Meskipun
membencinya, setiap hari aku
melayaninya sebagaimana tugas istri.
Aku terpaksa melakukan semuanya
karena aku tak punya pegangan lain.
Beberapa kali muncul keinginan
meninggalkannya tapi aku tak punya
kemampuan finansial dan dukungan
siapapun. Kedua orangtuaku sangat
menyayangi suamiku karena menurut
mereka, suamiku adalah sosok suami
sempurna untuk putri satu-satunya
mereka. Ketika menikah, aku menjadi
istri yang teramat manja. Kulakukan
segala hal sesuka hatiku. Suamiku
juga memanjakanku sedemikian rupa.
Aku tak pernah benar-benar
menjalani tugasku sebagai seorang
istri. Aku selalu bergantung padanya
karena aku menganggap hal itu sudah
seharusnya setelah apa yang ia
lakukan padaku. Aku telah
menyerahkan hidupku padanya
sehingga tugasnyalah membuatku
bahagia dengan menuruti semua
keinginanku. Di rumah kami, akulah
ratunya. Tak ada seorangpun yang
berani melawan. Jika ada sedikit saja
masalah, aku selalu menyalahkan
suamiku. Aku tak suka handuknya
yang basah yang diletakkan di tempat
tidur, aku sebal melihat ia meletakkan
sendok sisa mengaduk susu di atas
meja dan meninggalkan bekas lengket,
aku benci ketika ia memakai
komputerku meskipun hanya untuk
menyelesaikan pekerjaannya. Aku
marah kalau ia menggantung bajunya
di kapstock bajuku, aku juga marah
kalau ia memakai pasta gigi tanpa
memencetnya dengan rapi, aku
marah kalau ia menghubungiku
hingga berkali-kali ketika aku sedang
bersenang-senang dengan teman-
temanku. Tadinya aku memilih untuk
tidak punya anak. Meskipun tidak
bekerja, tapi aku tak mau mengurus
anak. Awalnya dia mendukung dan
akupun ber-KB dengan pil. Tapi
rupanya ia menyembunyikan
keinginannya begitu dalam sampai
suatu hari aku lupa minum pil KB dan
meskipun ia tahu ia membiarkannya.
Akupun hamil dan baru menyadarinya
setelah lebih dari empat bulan,
dokterpun menolak
menggugurkannya. Itulah
kemarahanku terbesar padanya.
Kemarahan semakin bertambah ketika
aku mengandung sepasang anak
kembar dan harus mengalami
kelahiran yang sulit. Aku memaksanya
melakukan tindakan vasektomi agar
aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia
melakukan semua keinginanku karena
aku mengancam akan
meninggalkannya bersama kedua
anak kami. Waktu berlalu hingga anak-
anak tak terasa berulang tahun yang
ke-delapan. Seperti pagi-pagi
sebelumnya, aku bangun paling akhir.
Suami dan anak-anak sudah
menungguku di meja makan. Seperti
biasa, dialah yang menyediakan
sarapan pagi dan mengantar anak-
anak ke sekolah. Hari itu, ia
mengingatkan kalau hari itu ada
peringatan ulang tahun ibuku. Aku
hanya menjawab dengan anggukan
tanpa mempedulikan kata-katanya
yang mengingatkan peristiwa tahun
sebelumnya, saat itu aku memilih ke
mal dan tidak hadir di acara ibu.
Yaah, karena merasa terjebak dengan
perkawinanku, aku juga membenci
kedua orangtuaku. Sebelum ke
kantor, biasanya suamiku mencium
pipiku saja dan diikuti anak-anak.
Tetapi hari itu, ia juga memelukku
sehingga anak-anak menggoda
ayahnya dengan ribut. Aku berusaha
mengelak dan melepaskan
pelukannya. Meskipun akhirnya ikut
tersenyum bersama anak-anak. Ia
kembali mencium hingga beberapa
kali di depan pintu, seakan-akan berat
untuk pergi. Ketika mereka pergi,
akupun memutuskan untuk ke salon.
Menghabiskan waktu ke salon adalah
hobiku. Aku tiba di salon langgananku
beberapa jam kemudian. Di salon aku
bertemu salah satu temanku sekaligus
orang yang tidak kusukai. Kami
mengobrol dengan asyik termasuk
saling memamerkan kegiatan kami.
Tiba waktunya aku harus membayar
tagihan salon, namun betapa
terkejutnya aku ketika menyadari
bahwa dompetku tertinggal di rumah.
Meskipun merogoh tasku hingga
bagian terdalam aku tak
menemukannya di dalam tas. Sambil
berusaha mengingat-ingat apa yang
terjadi hingga dompetku tak bisa
kutemukan aku menelepon suamiku
dan bertanya. “Maaf sayang, kemarin
Farhan meminta uang jajan dan aku
tak punya uang kecil maka kuambil
dari dompetmu. Aku lupa
menaruhnya kembali ke tasmu, kalau
tidak salah aku letakkan di atas meja
kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan
lembut. Dengan marah, aku
mengomelinya dengan kasar. Kututup
telepon tanpa menunggunya selesai
bicara. Tak lama kemudian,
handphoneku kembali berbunyi dan
meski masih kesal, akupun
mengangkatnya dengan setengah
membentak. “Apalagi??” “Sayang, aku
pulang sekarang, aku akan ambil
dompet dan mengantarnya padamu.
Sayang sekarang ada dimana?” tanya
suamiku cepat , kuatir aku menutup
telepon kembali. Aku menyebut nama
salonku dan tanpa menunggu
jawabannya lagi, aku kembali
menutup telepon. Aku berbicara
dengan kasir dan mengatakan bahwa
suamiku akan datang membayarkan
tagihanku. Si empunya Salon yang
sahabatku sebenarnya sudah
membolehkanku pergi dan
mengatakan aku bisa membayarnya
nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa
malu karena “musuh”ku juga ikut
mendengarku ketinggalan dompet
membuatku gengsi untuk berhutang
dulu. Hujan turun ketika aku melihat
keluar dan berharap mobil suamiku
segera sampai. Menit berlalu menjadi
jam, aku semakin tidak sabar
sehingga mulai menghubungi
handphone suamiku. Tak ada jawaban
meskipun sudah berkali-kali
kutelepon. Padahal biasanya hanya
dua kali berdering teleponku sudah
diangkatnya. Aku mulai merasa tidak
enak dan marah. Teleponku diangkat
setelah beberapa kali mencoba. Ketika
suara bentakanku belum lagi keluar,
terdengar suara asing menjawab
telepon suamiku. Aku terdiam
beberapa saat sebelum suara lelaki
asing itu memperkenalkan diri,
“selamat siang, ibu. Apakah ibu istri
dari bapak armandi?” kujawab
pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu
ternyata seorang polisi, ia
memberitahu bahwa suamiku
mengalami kecelakaan dan saat ini ia
sedang dibawa ke rumah sakit
kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam
dan hanya menjawab terima kasih.
Ketika telepon ditutup, aku
berjongkok dengan bingung.
Tanganku menggenggam erat
handphone yang kupegang dan
beberapa pegawai salon mendekatiku
dengan sigap bertanya ada apa
hingga wajahku menjadi pucat
seputih kertas. Entah bagaimana
akhirnya aku sampai di rumah sakit.
Entah bagaimana juga tahu-tahu
seluruh keluarga hadir di sana
menyusulku. Aku yang hanya diam
seribu bahasa menunggu suamiku di
depan ruang gawat darurat. Aku tak
tahu harus melakukan apa karena
selama ini dialah yang melakukan
segalanya untukku. Ketika akhirnya
setelah menunggu beberapa jam,
tepat ketika kumandang adzan
maghrib terdengar seorang dokter
keluar dan menyampaikan berita itu.
Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan
karena kecelakaan itu sendiri,
serangan stroke-lah yang
menyebabkan kematiannya. Selesai
mendengar kenyataan itu, aku malah
sibuk menguatkan kedua orangtuaku
dan orangtuanya yang shock. Sama
sekali tak ada airmata setetespun
keluar di kedua mataku. Aku sibuk
menenangkan ayah ibu dan mertuaku.
Anak-anak yang terpukul memelukku
dengan erat tetapi kesedihan mereka
sama sekali tak mampu membuatku
menangis. Ketika jenazah dibawa ke
rumah dan aku duduk di hadapannya,
aku termangu menatap wajah itu.
Kusadari baru kali inilah aku benar-
benar menatap wajahnya yang tampak
tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan
kupandangi dengan seksama. Saat
itulah dadaku menjadi sesak teringat
apa yang telah ia berikan padaku
selama sepuluh tahun kebersamaan
kami. Kusentuh perlahan wajahnya
yang telah dingin dan kusadari inilah
kali pertama kali aku menyentuh
wajahnya yang dulu selalu dihiasi
senyum hangat. Airmata merebak
dimataku, mengaburkan
pandanganku. Aku terkesiap berusaha
mengusap agar airmata tak
menghalangi tatapan terakhirku
padanya, aku ingin mengingat semua
bagian wajahnya agar kenangan
manis tentang suamiku tak berakhir
begitu saja. Tapi bukannya berhenti,
airmataku semakin deras membanjiri
kedua pipiku. Peringatan dari imam
mesjid yang mengatur prosesi
pemakaman tidak mampu membuatku
berhenti menangis. Aku berusaha
menahannya, tapi dadaku sesak
mengingat apa yang telah kuperbuat
padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah
memperhatikan kesehatannya. Aku
hampir tak pernah mengatur
makannya. Padahal ia selalu
mengatur apa yang kumakan. Ia
memperhatikan vitamin dan obat
yang harus kukonsumsi terutama
ketika mengandung dan setelah
melahirkan. Ia tak pernah absen
mengingatkanku makan teratur,
bahkan terkadang menyuapiku kalau
aku sedang malas makan. Aku tak
pernah tahu apa yang ia makan
karena aku tak pernah bertanya.
Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai
dan tidak disukai. Hampir seluruh
keluarga tahu bahwa suamiku adalah
penggemar mie instant dan kopi
kental. Dadaku sesak mendengarnya,
karena aku tahu ia mungkin terpaksa
makan mie instant karena aku hampir
tak pernah memasak untuknya. Aku
hanya memasak untuk anak-anak dan
diriku sendiri. Aku tak perduli dia
sudah makan atau belum ketika
pulang kerja. Ia bisa makan
masakanku hanya kalau bersisa.
Iapun pulang larut malam setiap hari
karena dari kantor cukup jauh dari
rumah. Aku tak pernah mau
menanggapi permintaannya untuk
pindah lebih dekat ke kantornya
karena tak mau jauh-jauh dari tempat
tinggal teman-temanku. Saat
pemakaman, aku tak mampu
menahan diri lagi. Aku pingsan ketika
melihat tubuhnya hilang bersamaan
onggokan tanah yang menimbun. Aku
tak tahu apapun sampai terbangun di
tempat tidur besarku. Aku terbangun
dengan rasa sesal memenuhi rongga
dadaku. Keluarga besarku
membujukku dengan sia-sia karena
mereka tak pernah tahu mengapa aku
begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah
kepergiannya bukanlah kebebasan
seperti yang selama ini kuinginkan
tetapi aku malah terjebak di dalam
keinginan untuk bersamanya. Di hari-
hari awal kepergiannya, aku duduk
termangu memandangi piring kosong.
Ayah, Ibu dan ibu mertuaku
membujukku makan. Tetapi yang
kuingat hanyalah saat suamiku
membujukku makan kalau aku sedang
mengambek dulu. Ketika aku lupa
membawa handuk saat mandi, aku
berteriak memanggilnya seperti biasa
dan ketika malah ibuku yang datang,
aku berjongkok menangis di dalam
kamar mandi berharap ia yang
datang. Kebiasaanku yang
meneleponnya setiap kali aku tidak
bisa melakukan sesuatu di rumah,
membuat teman kerjanya
kebingungan menjawab teleponku.
Setiap malam aku menunggunya di
kamar tidur dan berharap esok pagi
aku terbangun dengan sosoknya di
sebelahku. Dulu aku begitu kesal
kalau tidur mendengar suara
dengkurannya, tapi sekarang aku
bahkan sering terbangun karena rindu
mendengarnya kembali. Dulu aku
kesal karena ia sering berantakan di
kamar tidur kami, tetapi kini aku
merasa kamar tidur kami terasa
kosong dan hampa. Dulu aku begitu
kesal jika ia melakukan pekerjaan dan
meninggalkannya di laptopku tanpa
me-log out, sekarang aku
memandangi komputer, mengusap
tuts-tutsnya berharap bekas jari-
jarinya masih tertinggal di sana. Dulu
aku paling tidak suka ia membuat
kopi tanpa alas piring di meja,
sekarang bekasnya yang tersisa di
sarapan pagi terakhirnyapun tidak
mau kuhapus. Remote televisi yang
biasa disembunyikannya, sekarang
dengan mudah kutemukan meski aku
berharap bisa mengganti
kehilangannya dengan kehilangan
remote. Semua kebodohan itu
kulakukan karena aku baru menyadari
bahwa dia mencintaiku dan aku
sudah terkena panah cintanya. Aku
juga marah pada diriku sendiri, aku
marah karena semua kelihatan
normal meskipun ia sudah tidak ada.
Aku marah karena baju-bajunya
masih di sana meninggalkan baunya
yang membuatku rindu. Aku marah
karena tak bisa menghentikan semua
penyesalanku. Aku marah karena tak
ada lagi yang membujukku agar
tenang, tak ada lagi yang
mengingatkanku sholat meskipun kini
kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat
karena aku ingin meminta maaf,
meminta maaf pada Allah karena
menyia-nyiakan suami yang
dianugerahi padaku, meminta ampun
karena telah menjadi istri yang tidak
baik pada suami yang begitu
sempurna. Sholatlah yang mampu
menghapus dukaku sedikit demi
sedikit. Cinta Allah padaku
ditunjukkannya dengan begitu banyak
perhatian dari keluarga untukku dan
anak-anak. Teman-temanku yang
selama ini kubela-belain, hampir tak
pernah menunjukkan batang hidung
mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah
kematiannya, keluarga
mengingatkanku untuk bangkit dari
keterpurukan. Ada dua anak yang
menungguku dan harus kuhidupi.
Kembali rasa bingung merasukiku.
Selama ini aku tahu beres dan tak
pernah bekerja. Semua dilakukan
suamiku. Berapa besar
pendapatannya selama ini aku tak
pernah peduli, yang kupedulikan
hanya jumlah rupiah yang ia transfer
ke rekeningku untuk kupakai untuk
keperluan pribadi dan setiap bulan
uang itu hampir tak pernah bersisa.
Dari kantor tempatnya bekerja, aku
memperoleh gaji terakhir beserta
kompensasi bonusnya. Ketika
melihatnya aku terdiam tak
menyangka, ternyata seluruh gajinya
ditransfer ke rekeningku selama ini.
Padahal aku tak pernah sedikitpun
menggunakan untuk keperluan rumah
tangga. Entah darimana ia
memperoleh uang lain untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga
karena aku tak pernah bertanya
sekalipun soal itu.Yang aku tahu
sekarang aku harus bekerja atau
anak-anakku takkan bisa hidup karena
jumlah gaji terakhir dan kompensasi
bonusnya takkan cukup untuk
menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja
di mana? Aku hampir tak pernah
punya pengalaman sama sekali.
Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa
waktu kemudian. Ayahku datang
bersama seorang notaris. Ia
membawa banyak sekali dokumen.
Lalu notaris memberikan sebuah
surat. Surat pernyataan suami bahwa
ia mewariskan seluruh kekayaannya
padaku dan anak-anak, ia menyertai
ibunya dalam surat tersebut tapi yang
membuatku tak mampu berkata
apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku Liliana tersayang, Maaf karena
harus meninggalkanmu terlebih
dahulu, sayang. maaf karena harus
membuatmu bertanggung jawab
mengurus segalanya sendiri. Maaf
karena aku tak bisa memberimu cinta
dan kasih sayang lagi. Allah
memberiku waktu yang terlalu singkat
karena mencintaimu dan anak-anak
adalah hal terbaik yang pernah
kulakukan untukmu. Seandainya aku
bisa, aku ingin mendampingi sayang
selamanya. Tetapi aku tak mau kalian
kehilangan kasih sayangku begitu saja.
Selama ini aku telah menabung
sedikit demi sedikit untuk kehidupan
kalian nanti. Aku tak ingin sayang
susah setelah aku pergi. Tak banyak
yang bisa kuberikan tetapi aku
berharap sayang bisa
memanfaatkannya untuk
membesarkan dan mendidik anak-
anak. Lakukan yang terbaik untuk
mereka, ya sayang. Jangan menangis,
sayangku yang manja. Lakukan banyak
hal untuk membuat hidupmu yang
terbuang percuma selama ini. Aku
memberi kebebasan padamu untuk
mewujudkan mimpi-mimpi yang tak
sempat kau lakukan selama ini.
Maafkan kalau aku menyusahkanmu
dan semoga Tuhan memberimu jodoh
yang lebih baik dariku. Teruntuk
Farah, putri tercintaku. Maafkan
karena ayah tak bisa mendampingimu.
Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan
Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah
Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang
bandel lagi dan selalu ingat
dimanapun kalian berada, ayah akan
disana melihatnya. Oke, Buddy! Aku
terisak membaca surat itu, ada
gambar kartun dengan kacamata yang
diberi lidah menjulur khas suamiku
kalau ia mengirimkan note. Notaris
memberitahu bahwa selama ini
suamiku memiliki beberapa asuransi
dan tabungan deposito dari hasil
warisan ayah kandungnya. Suamiku
membuat beberapa usaha dari hasil
deposito tabungan tersebut dan
usaha tersebut cukup berhasil
meskipun dimanajerin oleh orang-
orang kepercayaannya. Aku hanya
bisa menangis terharu mengetahui
betapa besar cintanya pada kami,
sehingga ketika ajal menjemputnya ia
tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk
menikah lagi. Banyaknya lelaki yang
hadir tak mampu menghapus
sosoknya yang masih begitu hidup di
dalam hatiku. Hari demi hari hanya
kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika
orangtuaku dan mertuaku pergi satu
persatu meninggalkanku selaman-
lamanya, tak satupun meninggalkan
kesedihan sedalam kesedihanku saat
suamiku pergi. Kini kedua putra
putriku berusia duapuluh tiga tahun.
Dua hari lagi putriku menikahi
seorang pemuda dari tanah seberang.
Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus
bagaimana nanti setelah menjadi istri,
soalnya Farah kan ga bisa masak, ga
bisa nyuci, gimana ya bu?” Aku
merangkulnya sambil berkata “Cinta
sayang, cintailah suamimu, cintailah
pilihan hatimu, cintailah apa yang ia
miliki dan kau akan mendapatkan
segalanya. Karena cinta, kau akan
belajar menyenangkan hatinya, akan
belajar menerima kekurangannya,
akan belajar bahwa sebesar apapun
persoalan, kalian akan
menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu
untuk ayah? Cinta itukah yang
membuat ibu tetap setia pada ayah
sampai sekarang?” Aku menggeleng,
“bukan, sayangku. Cintailah suamimu
seperti ayah mencintai ibu dulu,
seperti ayah mencintai kalian berdua.
Ibu setia pada ayah karena cinta ayah
yang begitu besar pada ibu dan kalian
berdua.” Aku mungkin tak beruntung
karena tak sempat menunjukkan
cintaku pada suamiku. Aku
menghabiskan sepuluh tahun untuk
membencinya, tetapi menghabiskan
hampir sepanjang sisa hidupku untuk
mencintainya. Aku bebas darinya
karena kematian, tapi aku tak pernah
bisa bebas dari cintanya yang begitu
tulus. Bagaimana pendapat kamu
dengan “Kisah Cinta Paling Sedih”
atau cerita paling mengharukan di
atas ? saya rasa kamu mulai ingusan
dengan mata merah sedikit netesin
air mata. Bener kan ? Tolong share ke
temen-temen di facebook dong atau
like nih kisah paling sedih
ROMANTIC
Langganan:
Postingan (Atom)